Matahari tengah merangkak turun di kaki langit sebelah barat ketika perahu yang aku tumpangi merapat di dermaga Pulau Tinabo. Sore itu, 31 Agustus 2014. Aku tak sabar ingin segera turun dari perahu dan menikmati panorama matahari tenggelam dari tepi pantai yang berpasir putih. Bayi-bayi hiu kecil yang berenang di sisi dermaga bahkan tak membuatku menarik diri dari semburat jingga di kaki langit. Bermain dengan hiu bisa kulakukan nanti. Masih banyak waktu kan? Pikirku.
Namun, usai matahari tenggelam, kudapati diriku yang masih malas beranjak. Hingga Ojrahar menghampiri setelah ia puas bermain dengan hiu-hiu kecil di sisi dermaga.
“Ada teh di sana, lo mau?” Ujarnya sambil menujuk ke arah di belakangku. Aku menoleh. Rupanya ada sebuah cafe disana.
“Eum…boleh, deh” Jawabku sambil mengulas senyum.
“Tunggu, ya!” pintanya. Tak lama, ia kembali dan membawa dua buah mug yang terbuat dari porselain di tangannya. Satu berisi kopi, dan satu lagi teh yang tadi ia tawarkan padaku.
“Pegang dulu, gue mau ambil kue!” pintanya lagi.
Lekas-lekas kusimpan kameraku dan menerima kopi dan teh yang masih panas itu. Sementara ia kembali lagi ke cafe yang bangunannya tampak sederhana karena terbuat dari kayu dan bambu. Tepat di sebelah cafe itu, ada sebuah homestay untuk tamu berbentuk rumah panggung, dan di sebelahnya lagi berdiri sebuah pondok kerja yang ditinggali petugas jaga wana Taman Nasional Taka Bonerate.
Saat menyapukan pandangan di sekitar pantai Pulau Tinabo, kutemukan sebatang kayu besar tergeletak begitu saja di atas pasir tepat di depan homestay. Sebatang kayu itu tampaknya adalah pokok batang pohon yang telah melalui perjalanan jauh, terombang-ambing terbawa arus lautan, hingga akhirnya terdampar di pantai. Di beberapa bagiannya terlihat cabang-cabangnya yang telah lapuk.
“Nih kuenya!” Ojrahar kembali lagi dan menyodorkan dua potong kue bolu dalam piring kecil.
Aku tidak bisa menerima kue itu karena kedua tangan masih memegang mug kopi dan teh. Rupanya benar bahwa tangan yang menggenggam selamanya tak akan bisa menerima pemberian. Dan aku harus meletakkan mug-mug berisi minuman hangat kami untuk bisa menerima kue itu. Tetapi meletakkannya di atas pasir bukanlah ide bagus menurutku.
“Duduk di sana, yuk!” ajakku sambil menoleh ke arah sebatang kayu yang tergeletak di depan homestay. Ojrahar mengangguk, lalu kami berjalan ke arah kayu besar di depan homestay.
Kami duduk di sana hingga menjelang malam. Enggan rasanya bagi kami mengakhiri suasana yang begitu syahdu syahdu, duduk berdua di tepi pantai, sambil menikmati minuman hangat dan sepotong kue bolu, ditemani kilauan cahaya matahari terbenam yang masih tersisa.
Kunikmati saat-saat yang amat berharga itu untuk menghirup aroma pantai, dan memandang ke laut lepas. Laut yang ujungnya terlihat bersentuhan dengan langit. Tetapi perlahan, aku melihat ada sesuatu yang lain di sana.
“lagi mikirin apa?” tanya Ojrahar tiba-tiba. Sepertinya ia sedang membaca perasaanku. Aku hanya menggeleng. Hening. Hingga beberapa saat kemudian aku mulai berani mengungkapkan perasaanku.
“Bi (Abi)”
“Ya”
“Lo tau nggak, dimana tempat terjauh berada?”
“Ujung laut?”
“Bukan!”
“Trus?”
“Rumah”
“Kok rumah?”
“Iya, rumah”
… dan suasana menjadi hening lagi untuk beberapa saat.
“Bi, gue nggak bisa nelpon ke rumah kita dari sini, nggak ada sinyal”
“Lo kangen anak-anak, ya?”
Aku mengangguk.
“Bi, apa lo bakal ngerti kalau setiap kali kita cuma pergi berdua … trus gue bisa sering nangis karena kangen mereka?” tanyaku kemudian, meski aku tau ia pasti tak akan menjawab pertanyaan itu.
Biasanya ia akan memberiku sebuah pelukan untuk setiap pertanyaan yang sulit ia jawab. Aku juga tau, itu tak akan ia berikan saat itu, di ruang terbuka, di tepi pantai Pulau Tinabo dan banyak mata yang mungkin saja akan menatap ke arah kami.
“Nih, pake hape gue aja!” Ia menyodorkan handphonenya. Aku ingat, panitia Taka Bonerate Island VI pernah memberi informasi, bahwa di Pulau Tinabo tetap bisa berkomunikasi dengan handphone dengan operator GSM tertentu. Walau hanya via telepon dan SMS. Tanpa internet.
Maka sore itu aku kembali menemukan makna lain dari sebuah perjalanan. Bahwa kemapa pun kita pergi, pasti akhirnya akan selalu mencari jalan untuk pulang. Sejauh apapun.
Beneer.. sejauh apapun, sesulit apapun pasti kita cari jalan pulang..
Bener banget. Sehebat dan senikmat apapun perjalanan, selalu pulang menjadi sandaran batin terkuat kita. Apalagi ada keluarga di rumah yang menanti yaaa…
Kuterharu. Sejauh apapun kita pergi, rumah adalah tempat kita kembali. Bener ya kak. Akupun merasakannya
Aku jadi baper bacanya, hikssss
Bener sih tapi, ketika aku jalan-jalan sekeluarga cuma 2 hari aja, suka kangen bau bantal di rumah.
setuju mba Rumah itu tempt pulang mau sejauh kemana aku pasti ingetnya rumah apalagi sejak punya anak kalau dinas aja ga tenang pgn cpt pulang
Wah, sama kayak yang lain nih. Sejak anak banyak dan punya lagi 2 anak yang kecil, aku udah gak pernah pergi2 berdua. Kangen banget sebenernya. Tapinya belom kesampaian. :))
Ternyata nggak cuma aku yang kalo pas ke luar kota pasti berkali-kali harus telpon rumah karena kangen anak2. Sejauh-jauhnya kita pergi yang dirindukan pasti rumah
Akuuu rasain itu. Pergi mbolang ke mana-mana dan ya kangen untuk pulang. Ini masih single gak tau kalau udah ada anak. Akan kah malah gak pergi2 karena kangen anak terus?
Selalu pengen pulang walau sudah jauh berkelana ya Mbk. Aku jadi pengen traveling bersama keluarga juga
I do have the same feeling whenever I go..alone or Neruda Udi. Kids will always be in your heart, no wonder we miss them constantly
Gaya nulisnya kayak cerpen nih Mak Noe, apalagi nama suaminya unik ya kayak tokoh di dalam novel hehehe
udah lama gak travelling berdua dengan suami, jangankan travelling pergi nongkrong berdua aja udah gak pernah hehehe, maklum tinggalnya jauh dari keluarga jadi gak bisa ada yang dititipin hehehe
Sejak punya anak belum pernah lg traveling berdua aja sm suami
G tega
Nanti aj nunggu bocil gedee wkk
Aku belum pernah traveling berdua suami ke tempat jauh/dekat dan meninggalkan anak-anak tapi rasanya kerinduan mba noe dapat saya rasakan juga
Mbak Noe .. bikin saya baper ih .. beneran mbak, aku juga suka berpikir demikian, rumah adalah tempat terjauh saat kita bepergian. Kangen rumah jadinya.
Aku baca sampai bawah dan masih kebayang bayi hiu. Dan, entah kenapa keberadaan mereka di awal memperkuat latar suasana sampai akhir.
Dan aku merasa kehilangan sesuatu yang di sebut “rumah” ntah kapan bisa menemukan kehangatan rumah seperti dulu. Eh kok curhat 😅
Kak Noe romantis pissaan…
Aku suka niih…cerita kak Noe.
Sederhana.
Tapi menunjukkan gambaran sosok “wanita” sekaligus “ibu” dan “istri” dalam satu waktu.
Teruslah merindu, kak Noe…
Karena tanpanya, hidup ini akan terasa tidak berharga.
Aku banget suka pengen me time pergi jauh tanpa anak eh baru bbrp lama sudah kangen…hehe…ke KL-Thailand 5 hr Bali n Labuan Bajo 8 hari an sengaja ga telpon2an takutnya malah tbah kangen nanti jd enggak menikmati..wkwkwwk
Noe, gak ada yg lbh jauh dp dp ketika kita jauh dari anak, hiks…homesick banget. Petualangannya dan pemandangan ciptaan Sang Khalik indaaah sekali. Masya Allah.
Jangankan keluar kota mak, ke supermarket aja pengennya gandeng anak anak hehe
Uuhh aku terharuu.. Sering banget rasanya pwngin ngabur tanpa anak2 dan kalo kesampaian yg ada malah homesick. Gemes akuu 😅
keluarga adalah tempat kita kembali
Jadi gak kangen aku nih? 🙂 Emang enak sih jalan2 tapi pasti pikirannya ke rumah ya
tempat kita pulang adalah keluarga
Aku terlarut dalam senduu.. mbayangin ngeteh bedua sambil liat sunset di tepi pantai, tapi pikiran ingetnya ke anak2. Aaah i feel u maak 🙂
Justru saat jauh dari rumah dan berasa kangen, bagi saya itu artinya rumah adalah tempat ternyaman
Tidak apa-apa merasa rindu.
Tidak apa-apa juga total menikmati perjalanan, menikmati kebersamaan, kadang-kadang itu yang kita butuhkan 🙂
Percayalah…
Iya noe, bener. Oas ga bisa hubungi rumah buat nanya kabar, berasa tempat itu jauh banget ya
Tangan yg menggenggam selamanya tidak akan bisa menerima. Cakep
Berasa lg baca cerpen. Cakep bgd mbk noe nulisnya. Ah iya sejauh apapun pergi pasti akan memcari jalan untuk kembali pulang
Kemanapun kita pergi pasti kita akan kembali pulang. Bener banget itu. Aku selalu suka foto-foto di postingan Mbak Noe. Fotonya berasa hidup banget gitu.
Sejauh apapun Kita traveling pasti keingetan yg dirumahpun ya mba… Kadang terasa mesakne.. aplg Klo perginya jauh bngt hiks
Merantau cara kita rindu ke kampng halaman. Bikin melow mbk syukaa sama tulisannya
trenyuh bangett ya ALlah aku bacanya… aku juga setuju mbak.. ke mana pun kita pergi, termpat yang kemudian akan kita datangi adalah rumah kita sednrii dan keluarga
Jadi kangen Sulawesi! cantik banget pemandangannya 🙂
Btw kenapa mamak-mamak selalu pengen me time saat bersama anak-anak, lalu kangen anak-anak saat dapat me time hahaha.
Kalau liburan bareng anak rempong, gak bisa menikmati waktu berdua, sementara liburan berdua, kangen bangeett hahaha
Begitulaaahhh 🙂
Cantik banget dapet sunsetnya. Aku selama ini baru sunset di Pantai Losari yang dbest, belum nemu lagi sunset lainnya yang nandingin. Moga ntar nemu juga sunset lainnya yang cakep *sunset hunter hihihi
Mba noe, aku hanya ingin bilang sepertinya sudah saatnya untuk mba noe mencoba peruntungan menjadi penulis novel. sepertinya keren. karena aku selalu larut membaca tulisan2 mba noe hehe
Ah sedih, ini berasa banget siih. Aku juga suka banget pergi-pergi keluar. Tapi pas udh di luar malah pengen cepet-cepet balik. Walaupun kata orang di dunia ini banyak tempat yang indah tapi tetep, gak akan tergantikan dengan tempat yang nyaman (rumah)
Duuh, sediih. baca ini pas aku lagi kangen sama kampung halaman dan pengin mudik belum kesampaian juga.
Selalu pengin mudik, kaya ada yang memanggil pulang
Duuh mbaaa, aku lagi kangen banget sama kampung halaman nih, baca ini jadi tambah sedih, hiks.
Banyak banget yang mau aku kunjungi, nunggu lebaran kok rasanya lama
Huaa sedih akuh bacanya,, anak-anak memang selalu bikin kangen ya kak Noe,, Kalau aku kerja ke luar kota malamnya pas di Hotel pasti kangen banget sama mereka.
Sejauh apapun si anak rantau akan pulang ke negrinya. Sejauh apapun rindu akan terobati dengan komunikasi.
Aku bacanya kok sedih ya, kemarin aku ke pulau liwungan ga sama anak2, emang kangen berat, berasa kok ada yg beda, biasanya kan kemana2 diikutin sama bocil2