Tidak ada sepasang manusia yang benar-benar cocok di dunia ini, yang ada adalah dua orang yang saling mencocokkan diri.
Kutipan tersebut, entah sumbernya dari mana dan milik siapa. Tetapi aku lumayan sering mendengar dan membaca kalimat itu berseliweran di media sosial. Setelah difikir-fikir, ada benarnya juga.
Gara-gara Curhatan Teman
Beberapa kali aku terlibat dalam obrolan dengan teman perihal menjalin hubungan. Menarik memang, sekedar mendengarkan cerita dan berbagi pengalaman. Dan lebih dari itu, aku juga mencoba mengambil pelajaran. Terkadang cerita yang mereka share berupa keluhan, atau pertanyaan dalam rangka mencari solusi. Dan mendengar semua itu, aku justru teringat dengan semua yang pernah aku alami mengenai hubungan dengan pasangan.
Beberapa hari lalu, dalam perjalanan pulang dari kantor, temanku yang seorang wanita single bercerita tentang lelaki yang kini sedang menjalin hubungan dengannya. Sebut saja namanya Melati. Dia dan kekasihnya sama-sama memiliki keinginan untuk menikah. Hanya saja menurut si Melati, si pria terlampau cuek dan santai. Banyak hal yang dipertimbangkan oleh si pria jika harus menikah sesegera mungkin, memngingat usia Melati yang sudah menginjak kepala 3. Padahal semua masalah pasti ada solusinya. Jalani saja, jangan menunggu segalanya menjadi sempurna, itu prinsip Melati.
Satu lagi, temanku yang bisa dibilang sering juga sharing denganku. Dia laki-laki. Mari sebut namanya Rangga, meski sifatnya jauh berbeda dengan tokoh yang diperankan oleh NicSap dalam film AADC. Rangga disini sangat periang, bukan pendiam seperti pacarnya si Cinta. Aku memakai nama Rangga untuk menyamarkan identitas aslinya, ini karena rambutnya yang sama-sama ikal. (Ok! Back to topic please. 😀 Ini nggak lucu.)
Rangga pernah beberapa kali bertanya tentang bagaimana aku bisa berkenalan dengan lelaki kurus yang sekarang adalah suamiku sampai akhirnya memutuskan menikah, dan bagaimana aku mengatasi perbedaan-perbedaan antara kami? O, rupanya Rangga juga sedang dalam masa menyesuaikan diri dengan seorang perempuan yang (katanya) saat ini sedang dalam proses ta’aruf.
Tentang Aku & Suami
Seperti juga Melati dan Rangga, aku dan suamiku pun sebernarnya memiliki masalah yang sama, yaitu perbedaan karakter. Awalnya, sempat juga bertanya-tanya, apa aku bisa hidup bersama dia yang karakternya bertolak belakang denganku? Aku ‘boros’ dan hidup untuk hari ini, sementara suamiku jauh memikirkan masa mendatang. Aku terbiasa berfikir secara cepat dalam mengambil keputusan dan problem solving, sementara suamiku penuuuhhh perhitungan dan pertimbangan. Baiklah, kalau menurut buku yang membahas tentang kepribadian manusia, aku tergolong dalam karakter koleris sanguinis, sementara suamiku plegmatis hampir 100%.
Otak kananku bekerja lebih cepat, sementara suamiku lebih banyak menggunakan otak kiri dalam berfikir. Contoh sederhana perbedaan cara berfikir saat hendak merencanakan traveling bersama. Saat ada promo tiket murah, tanpa fikir panjang aku akan beli saja, meskipun tiket itu periode terbangnha untuk setahun mendatang. Bagiku, setiap kesempatan harus dimanfaatkan. Soal nanti jika sudah sampai di hari H, apakah bisa terealisasi atau tidak karena ada halangan, itu urusan nanti.
Sementara suamiku, saat aku tanya mau ikut beli atau tidak, pertanyaannya banyak sekali. Pertanyaan itu adalah refleksi dari apa yang ia fikirkan dengan otak kirinya. Tiketnya boleh murah, tapi bagaimana dengan akomodasinya selama traveling nanti? Biaya makan, penginapan, transportasi, rute perjalanan, dan lain lain. Kalau nanti ada sesuatu yang menghalangi, sayang kan kalau tiketnya hangus? Itu semua pertanyaan suamiku. Ribet!
Sebelum menikah, aku sih bisa dengan cuek mengambil keputusan sendiri. Tinggal bilang;
“Ya sudah, aku pergi sendiri saja.”
Beda cerita kalau sudah status suami istri, kan? Bagaimanapun, harus ada persetujuan suami sebelum memutuskan sesuatu.
Tentang Aku & Anakku
Menanggapi kegalauan Melati dan Rangga, aku juga mencontohkan beberapa ‘kasus’ antara aku dan anakku yang kedua, Abyan, yang biasa dipanggil kakak. Si Kakak ini memiliki karakter yang sama persis denganku.
Contoh; semau gue, nggak mau diatur atau disuruh-suruh, semakin dilarang semakin dilanggar. Ternyata, aku dan si Kakak malah sering bentrok.
Koleris biasanya mendapat julukan si keras kepala, meski sebenarnya menurutku itu hanyalah prinsip dan kita wajib mempertahankan pendapat yang menurut kita benar. Bisa dibayangkan bagaimana dua orang keras kepala berselisih paham dan sama-sama kekeuh mempertahankan pendapatnya?
Aku dan Abyan sering ‘berantem’ karena hal-hal kecil seperti soal ‘taruh gelas di tempat cuci piring setelah minum susu’. Biasanya, Daffa’ si sulung yang biasa dipanggil Mamas, menjadi penengah di antara kami.
“Sudah, biar mamas aja yang taro ya, Bu.” Begitu Mamas meminta ijin padaku yang tetap mengharuskan Kakak melakukan sendiri. Riuh suasana di rumah kalau sudah begini. 😆
Moral Of Story
Seiring berjalannya waktu, aku semakin menyadari pentingnya mempelajari karakter manusia. Dengan begitu, kita bisa mencari bentuk komunikasi yang tepat dengan orang-orang yang dekat dengan kehidupan kita.
Mungkin jika dianalogikan, karakter manusia itu seperti medan magnet dengan dua kutubnya yang berbeda. Ketika dua kutub berbeda itu didekatkan, maka akan terjadi gaya tarik menarik. Sedangkan dua kutub yang sama sudah pasti akan saling menolak dan menjauh meski dipaksa untuk bersentuhan. Seperti itulah kita dan pasangan dengan segala perbedaan yang ada.
Kembali pada kutipan yang menjadi pembuka tulisan ini. Komunikasi yang efektif mungkin bisa menjadi kunci dalam proses mencocokkan diri. Untuk itu, mengetahui bagaimana karakter pasangan adalah hal penting. Penting juga untuk membangun hubungan yang baik dengan anak-anak, orang tua, teman, bos atau partner bisnis. Teman traveling juga.
Meski masih di level pemula dalam mempelajari macam-macam karakter seperti yang dibahas tuntas dalam buku pengembangan diri berjudul Personality Plus yang ditulis oleh Florence littauer, aku mulai bisa merasakan adanya kenyamanan dalam hubungan antara aku dan suamiku dengan perbedaan karakter. Terjawab sudah kekhawatiran yang dulu sering aku pertanyakan. Ternyata aku bisa mengatasi perbedaan itu. MasyaAllah! Semoga seterusnya bisa langgeng. Aamiin.
Oya, aku juga menyadari satu hal. Bahwa perbedaan yang ada adalah alasan bagi kami untuk bisa saling melengkapi. Aku yang akan memukul kentongan agar ia cepat action saat merencanakan sesuatu. Dan darinya aku belajar artinya sabar saat aku tiba-tiba harus patah karena melakukan sesuatu secara spontan tanpa perencanaan. Bukankah kami perpaduan yang pas?
Lagi pula, bagaimana kami bisa menikah kalau tidak ada perbedaan? Beda jenis kelamin, penting kan?
Semoga langgeng terus ya.. Perbedaan itu justru saling melengkapi kok.
http://www.persadainterior.com
Ternyata masih banyak sudut-sudut kota jogja yang bagus banget ya.
salam kenal dan moga berkah. aamiin
Perbedaan justru membawa banyak keindahan. Dan seru hehehehe… Karena beda ama suami aku pun jadi banyak belajar noe.. Terpacu untuk berbuat lebih plus tambah sabar 😉
itulah jodoh, kalo sang pencipta udah berkehendak, meskipun beda tetap aja cinta, hehe pengalaman tetangga. dengan adanya perbedaan hidup kita jadi berwarna, ya nggak sihhh
perbedaan memang ada untuk saling menutupi dan melengkapi.
sharingnya bagus banget mba. menarik, nyentrik.
ditunggu tulisannnya lagi.
Perbedaan yang ada dan keinginan untuk saling mengerti dan menyesuaikan diri justru menjadikan hidup lebih berwarna, ya?
Sukak deh de ngan tulisan ini. 🙂
Yang beda itu malah bikin semakin berwarna kan 🙂
Ulasannya sangat menarik. Bagaimanapun juga yang penting saling melengkapi mbak. Senang sekali dapat berkunjung ke laman web yang satu ini. Salam Kenal dari Bandung ^_^ Ayo kita upgrade ilmu internet marketing, SEO dan berbagai macam optimasi sosial media pelejit omset. Langsung saja kunjungi laman web kami ya. Ada kelas online nya juga lho. Terimakasih ^_^
Berbeda itu sangat unik mbak, apalagi jika bisa saling mengerti satu sama lain..
berbeda karkter dengan pasngan …??
hemm… menurutku itulah yang akan membuat hidup seseorang bahagia deng pasangannya…. asal saaling mengerti, memaklumi, melengkapi. 😀 😉
justru bagusnya yg beda karakter mna, biar saling melengkapi gitu..hihi
Jika sudah ditakdirkan untuk bergandengan oleh Tuhan, apapun perbedaannya pasti bisa dilalui. 😀
aku sama pacar juga beda kok, tapi ya bisa cocok :))
Perbedaan itu mengkayakan, harus lebih bersyukur karena ada perbedaan 😀
Nice artikel kak 😀
banyak persamaan kadang malah gak enak juga mbak…misalnya aja kalo sama sama cuek, sama-sama keras kepala hehehehe…justru perbedaan itu yang malah bisa saling menguatkan…
ini bacanya kok kayak saya dan suami ya 😀
*tossdulukitambak
dulu ya iya mikirnya kok gak nyambung bener lah kami ini,
tapi setelah dijalani ya ternyata bisa kok 🙂
justru beda yang bikin semakin berwarna ya mbak, asal keduanya mampu menyesuaikan diri dan menghargai perbedaan masing2
Wah gawat mb kalau ga beda jenis kelamin dalam pernikahan, hihihi
berbeda itu indah bisa saling melengkapi, kayanya aku sama kaya mbak nurul yang suka spontan dan gak pikir panjang, beruntung ada suami yg mengingatkan
semoga langgeng ya Mba…
aku juga selalu travel dengan suami…
aku follow blog nya ya Mba..:)
ini blog aku:
http://www.olivelatuputty.com/blog
Perbedaaan akan selalu ada … maka dari itu.. perbedaan malah akan menyatukan ^^
karena perbedaan itu lah yg membuat sesuatu apapun itu menjadi indah hihih 😀
Kalau aku n suamiku, aku well-prepared, dia tipe santai 😀
Perbedaan yang saling mengisi ya Jeng.
Jeng Nurul Noe, salam kenal ya, izin menyimak postingan-postingannya, tulisannya kereen.
Dek Noe… justru perbedaan yang ada bisa membuat pasangan bisa saling melengkapi kan?
Kalau terus berkutat pada perbedaan, gak akan bisa berjalan beriringan nanti hehehe
salam buat mas ojrahar dan ketiga jagoannya ya
Aku dan suamiku beda karakter, tiap hari ada saja yang membuat kami semakin lebih dewasa…indah memang karena ada perbedaan yak,
Semoga langgeng ya mba
Karena berbeda itulah makanya saling melengkapi coba sama hidup jadi flat ya kan ?
Hhhhm aku apa ya? Sepertinya plegmatis melankolis hihi 😀
saya dan suami juga beda tipe Mak. Saya pleghmatis sementara suami koleris melankolis. Tapi saya suka perpaduan ini soalnya pas gitu loh. hahahaha
Hahaha beda jenis kelamin sudah pasti jadi yang paling penting. Aku sama suami juga beda banget rul. Beda pokoknya mah lah.. Cuma ya memang itu yang bikin jadi rame rumah tangganya ????
menikah, bukannya emang menyatukan 2 org yg berbeda sama sekali ya? bukannya nyari yg cocok-cocok.. ntar kalo maunya yg cocok, kaya artis lagi, yg kawin cerai, krn alasan beda prinsip 😀
eh, met taun baruuu.. smoga makin berkah ya pernikahannya :*
iya mbak, nyari istri gak perlu nyari yang cocok, bagiku solehah sudah lebih dari cukup. itu yang akan membuat rumah tangga langgeng nantinya.
Prinsipnya siy gapapa beda asal bisa selaras ya kan mba? Soalnya kalo semuanya sama malah ga seruuuu :D.
Kalo semua samaaa.. mgkin masalahnya adalah bosan & monoton yaa hihi
Sama! Saya dan suami juga karakternya sangat beda. Tapi Allah lebih mengetahui kenapa kita dipasangkan dengan pasangan kita kan ya. Setuju dengan : intinya komunikasi, karena masing2 bukan dukun yg bisa menebak pikiran atau perasaan dalam hati pasangannya 🙂
Nah, selain komunikasi, kudu luruskan niat jg kan ya mba. Kembali kepada Allah, Dia lbh tau knp dulu kita bs menikah dg pasangan 🙂
kuncinya adalah bagaimana mengelolanya. Berbeda bisa pecah kalau masing-masing lebih mementingkan diri sendiri. Padahal sebetulnya kalau bisa mengelola, berbeda itu asik. Malah jadinya penuh warna 😀
Iyaa, dunia penuh warna karena adanya perbedaan. heran nya, banyaaak aja yg pd ngga mau menerima perbedaan, lalu muncullah tipe org nyinyir yg kbnyakan energi utk nyinyir sana sini ke org yg gk sesuai sama prinsip idupnya. wkwk. capek deh
Dalam berumah tangga berbeda itu biasalah. Yang gak biasa satu pihak “menjajah” pihak lain. Saya kadang suka perhitungan, kadang beli sesuatu kalau butuh gak perlu hitung-hitungan.
Duh, iya. jangan sampai ada jajah menjajah ya Mas
Mbak, sifat kalian yang berlawanan sama persis kayak aku dan istri pertamaku he3. Dia orangnya spontan dan terbiasa ambil keputusan cepat sedangkan aku penuh pertimbangan yang di matanya jadi terkesan lamban. Makasih udah sharing, saya jadi iku belajar juga.
Dengan perbedaan jadi saling melengkapi ya mbaknoee 🙂
iyaa mba Rahmi… dunia lengkap dengan adanya perbedaan 🙂